Publikasi > Kajian
Pernyataan Sikap BEM–KM FH Unsika terhadap Perbuatan Kekerasan Seksual
22/11/2025
Lindungi Diri, Lindungi Sesama, Kampus yang Aman adalah Hak Kita Bersama
Kampus yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar dan berkembang, ternyata juga dapat menjadi tempat yang menakutkan bagi sivitas akademika. Adanya perbuatan kekerasan seksual (KS) oleh oknum terhadap korban yang dilakukan di lingkungan kampus, ini merupakan masalah serius yang memerlukan perhatian signifikan.
Sebagaimana Pasal 12 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2024 (Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024) Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi disebutkan bahwa kekerasan seksual (KS) merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat pada penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu fungsi reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dan/atau pekerjaan dengan aman dan optimal.
KS adalah perbuatan yang sangat keji dan tidak dapat diterima. Perbuatan ini tidak hanya merusak kehidupan korban, tetapi juga menciptakan lingkungan kampus yang tidak aman dan tidak nyaman. Kami mengecam keras segala bentuk perbuatan KS yang masih terus terjadi, terutama di lingkungan kampus.
Perguruan tinggi harus menjadi ‘payung’ bagi sivitas akademika, terutama mahasiswa. Tempat yang menjamin keamanan dan perlindungan, terutama bagi korban kekerasan seksual. Sebagai institusi pendidikan, Perguruan Tinggi memiliki tanggung jawab moral dan etis untuk menciptakan lingkungan yang aman, memastikan kasus kekerasan seksual ditangani dengan adil, serta memberikan dukungan penuh kepada korban. Ini mencakup penyediaan mekanisme pelaporan yang aman, kebijakan perlindungan yang jelas, dan komitmen untuk mencegah segala bentuk intimidasi atau pembalasan terhadap korban sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 6, dan Pasal 15 Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Sayangnya, banyak kasus di mana sanksi yang diberikan masih terlalu ringan atau bahkan tidak diberlakukan sama sekali. Ketidakjelasan dalam mendefinisikan kekerasan seksual, seperti apakah tindakan tersebut dilakukan dengan ‘persetujuan’ atau tidak, kemudian sistem pelaporan yang kurang efektif, serta tidak adanya fasilitas keamanan seperti CCTV di area strategis kampus yang belum memadai sehingga sulit untuk melakukan penyelidikan dan pengumpulan bukti, seringkali menjadi alasan bagi Perguruan Tinggi untuk menunda atau menghindari penegakan sanksi. Hal ini membuat pelaku merasa bebas dari konsekuensi dan dapat mengulangi perbuatannya terhadap korban lain.